Kehadiran gedung-gedung pencakar langit ternyata memiliki kaitan 'tak sehat' dengan terjadinya krisis finansial. Investor kini harus semakin waspada dengan menjamurnya gedung-gedung pencakar langit, terutama di China dan India.
Berdasarkan studi "Indeks Gedung Pencakar Langit" dari Barclays Capital, krisis finansial terjadi setelah dibangunnya gedung pencakar langit seperti New York di tahun 1930, Chicago tahun 1974, Kuala Lumpur tahun 1997 dan Dubai tahun 2010.
"Indeks Gedung Pencakar Langit kami terus menunjukkan hubungan yang tidak sehat antara konstruksi dari gedung tertinggi di dunia dan merebaknya krisis finansial... New York 1930, Chicago 1974, Kuala Lumpur 1997 dan Dubai 2010," jelas Barclays Capital dalam laporannya seperti dikutip dari AFP, Kamis (12/1/2012).
"Acapkali gedung tertinggi di dunia secara mudah memicu booming bangunan pencakar langit, merefleksikan kesalahan alokasi modal yang lebih luas dan segera terjadi koreksi ekonomi," tambah studi tersebut.
Karenanya, menjamurnya gedung-gedung pencakar langit harus diwaspadai. Seperti diketahui, China saat ini merupakan pembangun gedung pencakar langit terbanyak di dunia, diikuti India di posisi kedua.
"Investor demikian harus memberikan perhatian khusus ke China yang kini merupakan pembangun terbesar... dan India, yang kini hanya memiliki 2 gedung pencakar langit yang sudah rampung, dan memiliki 14 gedung pencakar langit yang sedang digarap," tambah studi Barclays tersebut.
Barclays Capital juga mengingatkan 'gelembung' di China, yang terjadi booming properti akibat banjir likuiditas murah. China kini tercatat memiliki 75 gedung pencakar langit yang sudah selesai dibangun dengan tinggi di atas 240 meter. Namun dengan banjirnya likuiditas, ketinggian gedung pencakar langit itu diprediksi terus bertambah.
"Melihat kedepan, dengan menggunakan konstruksi gedung pencakar langit, hal ini menunjukkan booming gedung pencakar langit di China terus tumbuh. China akan merampungkan 53% dari 124 gedung penckar langit yang kini sedang dalam tahap konstruksi dalam 6 tahun kedepan, sehingga memperluas jumlahnya hingga 87%," jelas Barclays.
Selain China, yang harus diwaspadai adalah India. Saat ini India tercatat hanya memiliki 2 diantara 276 gedung pencakar langit di dunia yang tingginya di atas 240 meter. Namun dalam 5 tahun ke depan, sebanyak 14 gedung pencakar langit akan hadir di India.
"Yang juga mengkhawatirkan, India juga membangun gedung tertinggi kedua di dunia, the Tower of India yang akan rampung pada tahun 2016," jelasnya.
"Untuk jika sejarah terbukti benar, booming gedung di China dan India bisa mudah merefleksikan kesalahan penempatan modal yang bisa menyebabkan koreksi ekonomi di dua negara terbesar di Asia itu dalam 5 tahun ke depan," jelas Barclays.
Indonesia juga akan memiliki salah satu gedung tertinggi di dunia. Adalah pengusaha Tomy Winata dan kawan-kawan yang kini sedang bersiap membangun Signature Tower di kawasan SBCD, Jakarta. Signature Tower rencananya memiliki 111 lantai dengan tinggi hingga 600 meter, dan diperkirakan menjadi salah satu gedung tertinggi di dunia. Pembangunan gedung yang akan dimulai tahun 2012 itu akan menelan dana hingga US$ 1 miliar atau sekitar Rp 9 triliun.
sumber : detik.com
Berdasarkan studi "Indeks Gedung Pencakar Langit" dari Barclays Capital, krisis finansial terjadi setelah dibangunnya gedung pencakar langit seperti New York di tahun 1930, Chicago tahun 1974, Kuala Lumpur tahun 1997 dan Dubai tahun 2010.
"Indeks Gedung Pencakar Langit kami terus menunjukkan hubungan yang tidak sehat antara konstruksi dari gedung tertinggi di dunia dan merebaknya krisis finansial... New York 1930, Chicago 1974, Kuala Lumpur 1997 dan Dubai 2010," jelas Barclays Capital dalam laporannya seperti dikutip dari AFP, Kamis (12/1/2012).
"Acapkali gedung tertinggi di dunia secara mudah memicu booming bangunan pencakar langit, merefleksikan kesalahan alokasi modal yang lebih luas dan segera terjadi koreksi ekonomi," tambah studi tersebut.
Karenanya, menjamurnya gedung-gedung pencakar langit harus diwaspadai. Seperti diketahui, China saat ini merupakan pembangun gedung pencakar langit terbanyak di dunia, diikuti India di posisi kedua.
"Investor demikian harus memberikan perhatian khusus ke China yang kini merupakan pembangun terbesar... dan India, yang kini hanya memiliki 2 gedung pencakar langit yang sudah rampung, dan memiliki 14 gedung pencakar langit yang sedang digarap," tambah studi Barclays tersebut.
Barclays Capital juga mengingatkan 'gelembung' di China, yang terjadi booming properti akibat banjir likuiditas murah. China kini tercatat memiliki 75 gedung pencakar langit yang sudah selesai dibangun dengan tinggi di atas 240 meter. Namun dengan banjirnya likuiditas, ketinggian gedung pencakar langit itu diprediksi terus bertambah.
"Melihat kedepan, dengan menggunakan konstruksi gedung pencakar langit, hal ini menunjukkan booming gedung pencakar langit di China terus tumbuh. China akan merampungkan 53% dari 124 gedung penckar langit yang kini sedang dalam tahap konstruksi dalam 6 tahun kedepan, sehingga memperluas jumlahnya hingga 87%," jelas Barclays.
Selain China, yang harus diwaspadai adalah India. Saat ini India tercatat hanya memiliki 2 diantara 276 gedung pencakar langit di dunia yang tingginya di atas 240 meter. Namun dalam 5 tahun ke depan, sebanyak 14 gedung pencakar langit akan hadir di India.
"Yang juga mengkhawatirkan, India juga membangun gedung tertinggi kedua di dunia, the Tower of India yang akan rampung pada tahun 2016," jelasnya.
"Untuk jika sejarah terbukti benar, booming gedung di China dan India bisa mudah merefleksikan kesalahan penempatan modal yang bisa menyebabkan koreksi ekonomi di dua negara terbesar di Asia itu dalam 5 tahun ke depan," jelas Barclays.
Indonesia juga akan memiliki salah satu gedung tertinggi di dunia. Adalah pengusaha Tomy Winata dan kawan-kawan yang kini sedang bersiap membangun Signature Tower di kawasan SBCD, Jakarta. Signature Tower rencananya memiliki 111 lantai dengan tinggi hingga 600 meter, dan diperkirakan menjadi salah satu gedung tertinggi di dunia. Pembangunan gedung yang akan dimulai tahun 2012 itu akan menelan dana hingga US$ 1 miliar atau sekitar Rp 9 triliun.
sumber : detik.com
Comments
Post a Comment